Translate

Minggu, 28 September 2014

pasang surutnya ham di indonesia

Pasang Surut Penegakan Hak Asasi Manusia: Dilema Konseptual dan Pemahaman Masyarakat

Monday, 23/06/2014 16:24 | 517 Views
: Yusep Munawar Sofyan

PENDAHULUAN

            Sungguh bermartabat manusia jika saling menghargai satu dengan lainnya, terutama menyangkut hak yang paling hakiki yang dimiliki oleh manusia yang kemudian terhimpun dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Manusia sebagai salah satu mahluk yang diciptkan paling sempurna diangkat citra, harkat, martabat dan kedudukan kemanusiaanya di muka hukum baik di level nasional bahkan internasional.

            Namun problematika yang kemudian muncul adalah pemahaman mengenai arti deklarasi (kesepakatan). Dalam bahasa hukum deklarasi tidak memiliki kekuatan yuridis/hukum yang mengikat, sehingga DUHAM (pelanggar HAM) tidak dapat diberi sanksi keculai sanksi moral oleh Negara-negara yang menerima kesepakatan tersebut.

            Maka dari nilai adiluhung DUHAM tersebut dibuat dua turunan yakni berbentuk konvenan yang bersifat mengikat (bernilai sanksi hukum). Turunan tersebut adalah ICCPR (Inetrnational Convenan of Civil and political Right) dan ICESCR (International Convenan of Economic, Social and Cultur Right).

            Problem yang kemudian muncul adalah masalah konsep yang masih dianggap berbau Barat sehingga di sebahian tradisi sulit untuk diterima. Itulah salah satu penyebab mengapa DUHAM sangat sulit untuk  diimplementasikan di negara-negara di dunia meskipun DUHAM disepakati oleh mayoritas negara yang tergabung dalam PBB (perserikatan Bangsa-Bangsa).

            Perbedaan tradisi dan konstruk pemikiran tersebut yang melatar belakangi hadirnya deklarasi tandingan seperti Deklarasi Universal Islam tentang HAM di Mesir dan banyak lagi problem yang melatar belakangi problem yang mendasari sulitnya DUHAM dan turunannya untuk ditegakan.

            Setidaknya dalam tulisan ini akan diuraikan mengenai keberadaan DUHAM dan segala problematikanya, kemudian fenomena tersebut akan menjadi bahan rujukan atau analisa terhadap problem penerimaan bahkan penerapan hukum HAM di Indonesia.



HAM dalam Tradisi Yang Berbeda

            Kecemburuan sosial setidaknya itulah salah satu kesulitan DUHAM dan turunannya diimplementasikan ke dalam aturan-aturan hukum di negara-negara yang ikut serta menandatangani DUHAM untuk ditegakan dalam aturan hukum positif Negara-negara di dunia.

Permaslahan sulitnya implementasi DUHAM terkait dengan beberapa sentimen-sentimen yang sangat problematik. Sentimen tersebut setidaknya ada tiga bagian.[1] Pertama, Universalitas vs relativitas, artinya adalah konsep HAM yang dianggap universal ternyata ditanggapi lain oleh sebagian negara khususnya negara-negar muslim. Pendekatan yang sering dipakai adalah sentimen budaya, yakni bangsa Asia ‘mencap’ konsep HAM sangat bersifat Barat dengan pandangan tersebut menandakan bahwa universalitas HAM disinyalir sangat relatif dan hanya memperjuangkan sentimen Barat.

            Kedua, Liberalisme vs sosialisme, artinya terdapat pertentangan yang sangat ketat mengenai ideologi yang dari dulu saling bersinggungan, yakni kaum sosialis menganggap konsep HAM sangat Liberal.

            Ketiga, Hukum kodrat vs hukum agama, terdapat ketidak sesuaian antara konsep HAM dengan ajaran agama, dalam hal ini Islam. Banyak pihak Islam yang menentang konsep HAM dengan nilai-nilai Islam, sehingga untuk mengcounter isu-isu HAM muncul antara lain : The Cairo Declaration pada tahun 1990 dan sebelumnya ada The Universal Islamic Declaration of Human Right tahun 1981.

            Untuk mendudukan persoalan di atas, sebuah kronologis keberadaan DUHAM, perlu  untuk dikaji lebih dalam. Setidaknya ada beberapa point yang akan mengurai perdebatan-perdebatan mengenai keberadaan DUHAM di atas.

            Pertama, Standarisasi universalitas HAM menjadi sebuah kebutuhan. Dalam hal ini An-Naim memberikan sebuah standar mengenai HAM yakni : pengangkatan martabat yang paling hakiki dan terdapat dalam Al-Qur’an khususnya ayat-ayat makiyah, ayat-ayat makiyyah seperti dijelaskan oleh An-Naim, mengandung pesan Islam yang abadi dan fundamental:[2]

            Penjelasan tersebut setidakna menjawab dua persoalan yakni mengenai universalitas dan pertentangan kebudayaan atau agama, karena nilai-nilai seperti di jelaskan An-Naim terdapat dalam suatu ajaran Islam yang selama beberapa abad menjadi ‘penolak’ keberadaan Hak Asasi Manusia.

            Ada dua Standar universal tertentu tentang hak-hak asasi manusia yang mengikat sesuai dengan hukum internasional dan setiap upaya harus diarahkan pada penerapan dalam praktik.Pertama, nilai universal HAM seperti dijelaskan harus memiliki unsur jus cogens, yaitu, suatu prinsip hukum internasional dasar, bahwa negara-negara tidak dapat menolak karena kesepakatan mereka.... kedua, Prinsip memperlakukan orang lain sama seperti ia mengharapkan diperlakukan orang lain. Prinsip ini disebut juga prinsip resiprositas.[3]

            Tujuan dari resiprositas adalah, seseorang harus mencoba mencapai taksiran yang paling dekat untuk menempatkan dirinya dalam posisi orang lain...prinsif resiprositas itu bersifat saling menguntungkan, sehingga ketika seseorang mengidentifikasi dengan orang lain, maka seseorang hendaknya menggunakan prinsif timbal balik yang sama terhadap sistem kepercayaan orang lain.[4] Prinsip tersebut akhirnya mengerucut menjadi sebuah aturan minimal yakni hak untuk hidup dan hak untuk bebas.[5]

            Kedua, banyak kalangan sosialisme menilai bahwa DUHAM sangat condong atau besar muatan Liberalisme dan Individualismenya dengan menguji secara materil pasal-pasal yang terkandung di dalam DUHAM. Namun kecenderungan tersebut setidaknya terbantahkan dengan menelusuri keberadaan sejarah tentang penegakan Hak Asasi Manusia seperti dijelaskan oleh Yusril :[6]

Jika kita telusuri sejarah HAM sejak abad pertengahan hingga zaman modern, mulai dari Magna Charta (Inggris, 1215), Petition of Rights (Inggris, 1628), Declaration of Indevendence (Amerika Serikat, 177), Declaration des Droit de I’homme et du Citoyen (Prancis, 1789), dan akhirnyaUniversal Declaration of Human Rights (PBB, 1948), tampaknya bahwa dokumen-dokumen itu lahir bukan dari paham liberalisme dan Individualisme, melainkan dari tuntutan kolektif rakyat yang menentang absolutisme dan diktatorisme. Magna Carta lahir dari tuntutan para bangsawan dan gereja untuk membatasi kesewenang-wenagan raja Ingggris. Petition of Rightslahir dari tuntutan parlemen yang mewakili rakyat (house of commons) untuk membatasi kekuasaan raja. Declaration of Indevendence Amerika Serikat lahir sebagai pernyataan ingin bebas dari penjajah Inggris yang dirasakan menindas mereka.

Declaration des Droit de I’homme et du Citoyen juga lahir sebagai tuntutan kolektif Assemble Nationale yang mewakili rakyat untuk membatasi kekuasaan raja Louis XVI dan suatu upaya untuk melindungi hak-hak rakyat. Akhirnya, Universal Declaration of Human Rights PBB lahir sebagai pencerminan kemenangan negara-negara sekutu terhadap rejim fasisme Italia, Jerman, dan Jepang yang cenderung diktator dan menindas rakyat. Dengan demikian, jelas bahwa berbagai dokumen hak asasi manusia tidaklah lahir dari paham liberalisme dan individualisme, tetapi lahir dari perlawanan terhadap kesewenang-wenangan para penguasa. Jadi, sejarah HAM sebenarnya erat hubunganya dengan sejarah usaha untuk menegakan demokrasi di satu pihak, dan perjuangan kemerdekaan dipihak lain.

            Dengan latar belakang sejarah seperti tersebut menandakan bahwa semangat penegakan HAM adalah semangat memebebaskan jiwa (diri) dari belenggu tirani, baik yang disebabkan oleh negara maupun mayoritas kelompok.

            Hak dasar manusia sebagai manusia yang bebas dari tekanan dan rasa takut menjadi salah satu inspirasi regulasi (deklarasi-deklarasi) mengenai konsepsi penghargaan terhadap Hak Individu untuk memiliki rasa aman/kebebasan bertindak menurut akal budi yang dimiliki setiap manusia.



HAM dan Islam: Sebuah Dilema Ambivalensi

Islam dan HAM merupakan dua tema yang sering didistingsikan oleh sebagian kelompok muslim untuk menolak keberadaan HAM. Bagi penolaknya, DUHAM dinilai sebagai salah satu prodak barat yang lebih mementingkan atau mengagungkan hak-hak manusia di atas segala-galanya tanpa mempertimbangkan kewajiban manusia.

Dalam persfektif Islam, Hak asasi manusia (huqul al-insan) banyak kesamaan (kompatibel) dengan deklarasi DUHAM, tetapi terdapat upaya-upaya dikalangan sarjana muslim dan negara-negar Islam di Timur Tengah untuk lebih mengkontekstualisasikan atau lebih menekankan hak-hak tuhan (huquq Allah) dan hak-hak publik  (huqul al-adam) di atas hak-hak personal/individual (huqul-abd)[7]

Dalam kesejarahan Islam dapat dilihat dengan jelas bagaimana proporsi Islam dalam mengangkat martabat manusia? Muhammad sebagai utusan tuhan di muka bumi memberikan pedoman kehidupan bertindak dan berusaha. Dalam menghargai hak asasi manusia, Muhammad menaruh perhatian yang begitu besar, seperti terlihat dalam pidato dalam Haji terakhir, berikut:

“Barang siapa membunuh seseorang tanpa orang itu melakukan kejahatan pembunuhan atau perusakan di bumi, maka bagaikan ia membunuh seluruh umat manusia; dan barang siapa menolongnya maka bagaikan ia menolong seluruh umat manusia” (Hhuthbatu ‘l-Wada)[8]

            Dari paparan di atas, Caknur menegaskan bahwa dalam pidato itu Muhammad menyampaikan pesan tentang kesucian jiwa, harta dan kehormatan (al-dima’ wa ‘l-ammwal wa ‘l-a’radl) sampai hari kiamat.... Manusia adalah puncak ciptaan dengan harkat dan martabat yang dimuliakan Sang Pencipta, namun dapat jatuh menjadi serendah-rendahnya mahluk, kecuali yang menempuh hidup mengikuti jalan kebenaran menuju Tuhan (ber-Iman).[9] Inti dari pandangan Cak Nur tersebut adalah menandakan bahwa puncak paripurna dari ajaran Islam adalah penghargaan atas citra dan martabat manusia seperti ditekankan oleh khutbatul wada.

            Aturan yang menjadi acuan umat Islam tidak lain adalah Al-Qur’an dan kesejarahan kehidupan Muhammad yang panjang. Maka beberapa pendekatan yang dipakai oleh kaum muslim adalah dengan merujuk kepada dua sendi hukum yakni Al-Qur’an dan Sunnah (kesejarahan) Muhammad.

            Dengan bersendi kepada Al-Qur’an setidaknya akan ditemukan nilai kesesuaian antara HAM dengan ajaran yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Ishaque (1974) menjelakan adanya 14 buah Hak-hak asasi dalam Hukum Islam, yang semuanya didasarkan pada firman Allah. Keempat belas hak-hak Asasi itu secara keseluruhan mendukung tujuan untuk memebina dan memebentuk mahluk yang secara moral memiliki kesempurnaan (amorally perfect being).  Hak-Hak tersebut dapat diringkas sebagai berikut[10] :

1.      Hak memperoleh perlindungan hidup;

2.      Hak memperoleh keadilan;

3.      Hak memperoleh persamaan perlakuan;

4.      Kewajiban mengikuti apa yang benar dan hak untuk menolak apa yang tidak benar secara hokum;

5.      Hak untuk terjun ke dalam kehidupan masyarakat dan Negara;

6.      Hak memperoleh kemerdekaan;

7.      Hak memperoleh kebebasan dari pengejaran dan penuntutan. (vonviction);

8.      Hak menyatakan pendapat;

9.      Hak atas perlindungan terhadap penuntutan atas dasar peredaan agama;

10.  Hak memperoleh ketenangan perorangan (privacy);

11.  Hak-hak ekonomi, termasuk hak memperoleh pekerjaan, hak memperoleh imbalan atas upah di saat tidak mampu bekerja, dan hak memperoleh upah yang pantas bagi pekerjaan yang dilakukan;

12.  Hak memperoleh perlindungan atas kehormatan dan nama baik;

13.  Hak atas harta benda dan harta milik; Dan

14.  Hak memperoleh imbalan yang pantas dan penggantian kerugian yang sepadan.

Namun dengan rujukan hukum Islam atau syariat terdapat kesenjangan yang jauh, mengingat dalam Syariat Islam sering bersendikan kepada pola atau perilaku nabi dan para sahabat ketika memimpin masyarakat muslim di jajirah Arab.

            Setidaknya ada tiga hal yang tidak mampu atau masih menjadi perdebatan bagi kalangan muslim mengenai hak asasi manusia, seperti yang di tegaskan Sultan Hussein Tabandeh dalam buku kecilnya Muslim Commentary of the Universal Declaration of Humans Rights (Tanggapan Muslim terhadap Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia) [11]yakni : banyaknya ketidak sesuaian antara Syari’ah dan Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia dalam hubunganya dengan status perempuan dan non-Muslim. Tabandeh mencatat berbagai ketidak sesuaian itu untuk menguatkan bahwa umat Islam tidak terikat oleh Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia. Kemudian dia menyarankan agar Syari’ah yang kemudian direvisi, dari sudut pandang Islam, untuk memelihara hak-hak asasi manusia universal tersebut.

            Pernyataan tersebut disambut baik oleh An Na’im dengan menegaskan bahwa argumen Tabandeh sebagai bagian rujukan argumenya untuk pembaruan hukum Islam. Namun, An Na’im mengingatkan bahwa pembaruan yang dituju harus mementingkan keabsahan Islami-nya jika ingin efektif dalam mengubah perasaan dan kebijakan umat Islam terhadap isu-isu tersebut. An Nai’m mempertegas bahwa problem yang fundamental berkenaan dengan Syari’ah adalah: perbudakan, diskriminasi berdasarkan gender, dan diskriminasi agama.[12]

            Dua pernyataan di atas secara tegas ingin memberikan sebuah fenomena yang terjadi dalam diri umat Islam, dimana dalam literatur Islam maupun sejarah Hidup awal bangsa muslim sangat selektif terhadap isu-isu tentang HAM terutama mengenai tiga isu yang diangkat oleh An Na’im. Rujukan umat Islam dari dulu sampai sekarang masih berkutat pada Al-Qur’an sebagai sebuah legitimasi hukum dan perilaku kebijakan nabi.

            Tiga Isu di atas (perbudakan, diskriminasi berdasarkan gender, dan diskriminasi agama ) yang jelas-jelas diperjuangkan oleh DUHAM ditolak secara historis oleh masyarakat muslim yang terlalu kaku (leterjic) memandang hukum yang berlaku. Problem inilah yang kemudian harus segera dicarikan solusi jalan keluarnya.

   An Na’im menjelaskan bahwa ketidaksesuaian mendasar antara determinasi suatu kesejarahan, dengan tekun menguntungkan konsep hak-hak asasi manusia individual dan kolektf, dan konsepsi universalistik kontemporer hak-hak asasi manusia secara jelas ditunjukan dalam ambivalensi negara-negara Muslim modern terhadap isu-isu tersebut. Berbagai kebijakan negara-negara tersebut secara sadar atau tidak sadar dipengaruhi kekuatan yang secara inheren  kontradiktif. Di satu pihak, ada tarikan berbagai tradisi keagamaan historis yang mengesahkan diskriminasi berdasarkan agama dan gender. Di pihak lain, ada dorongan berbagai kekuatan domestik modernis dan internasional yang setuju dengan hak-hak asasi manusia dengan menentang diskriminasi berdasarkan agama atau gender. Ambivalensi ini dtunjukan dalam persetujuan berbagai negar Muslim terhadap dokumen-dokumen hak-hak asasi manusia internasional sementara mereka tidak sanggup menegakanya dalam juridiksi nasional mereka sendiri karena peran Syari’ah dalam sistem hukum domestik negara-negara tersebut.

HAM di Indonesia

            Bagaimana HAM dalam konteks Indonesia? Jika melihat regulasi HAM di Indonesia, khususnya mengenai Kebebasan Beragama dan berkeyakinan sangat menghawatirkan. Tirani mayoritas, sangat kuat dalam tradisi hukum ‘rimba’ Indonesia. Meskipun Indonesia memiliki aturan hukum positif, keberadaan kelompok-kelompok yang tidak setuju dengan pandangan dan keberadaan kelompok lain sangat terlihat jelas. Hal ini tidak hanya berlaku dalam satu komunitas tapi juga antar komunitas, contoh yang paling terlihat adalah kuatnya tirani mayoritas dalam “menghukumi” keyakinan Ahmadiyyah dan Syiah; sulitnya menerima secara sejajar keberadaan kelompok lain dalam sebuah wilayah, cntoh: Penutupan gereja Viladelfia dan GKI Yasmin Bogor.

            Meskipun Indonesia memiliki aturan hikum positif untuk mengatur masalah kewargaan, namun yang terjadi belakang sangat bertentangan dengan kenyataan tersebut, yakni masyarakat ‘berhak’ mengeksekusi kelompok minoritas dari lingkungan. bukankah cara-cara semacam itu adalah cara ‘hukum rimba’?, di mana yang kuat pasti dia yang menang, tanpa ada atauran hukum yang mengikat seluruhnya.

Pada prinsipnya, para founding father kita menyetujui Pancasila menjadi ideologi bangsa Indonesia setelah mengalami perdebatan dalam sidang-sidang kontituante. Penerimaan Pancasila sebagai sebuah ideologi tentunya beralasan mengingat bahwa pancasila merupakan ideologi pemersatu bangsa indonesia dari disintegrasi yang muncul. Seperti ditegaskan oleh Azra bahwa pancasila menjadi jalan tengah, Pancasila merupakan landasan bersama (common platform) atau sering disebut dikalangan muslim ‘kalimatun sawa’,[13] selain Azra sebelum wafat Cak Nur mencoba memformulasikan Landasan bersama tersebut (Pancasila, penj) bahwa pancasila disetujui oleh kaum Muslim sebagai sebuah kompromi karena berdasarkan atas dua pertimbangan; Pertama,nilai-nilai dibenarkan ajaran Islam; kedua, fungsinya sebagai noktah-noktah kesepakatan diantara berbagai golongan untuk mewujudkan kesatuan politik bersama. Kedudukan serta fungsi Pancasila ini kemudian dianalogikan (sekalipun tidak dapat disamakan) dengan kedudukan serta fungsi dokumen politik yang pertama dalam sejarah Islam yang dikenal para ahli sebagai Piagam Madinah. Caknur lebih melihat Pancasila merupakan pedoman bagi kehidupan masyarakat yang pluralistik, seperti dikemukakanya:

“Membandingkan Pancasila/UUD ’45 Indonesia dengan konstitusi Madinah tidak mengisyaratkan kesejajaran pola penerimaan kelompok bersangkutan akan nilai-nilai kesepakatan itu, melainkan juga mengimplikasikan adanya hak dan kewajiban yang sama pada kelompok-kelompok bersangkutan yang bisa disejajarkan. Salah satu konsekuensi penting dari Pancasila, seperti konstitusi Madinah ialah adanya jaminan kebebasan beragama. Prinsif ini menyangkut segi emosional dan perasaan mendalam kehidupan kita.[14]”

Sementara Amin Rais pun menilai bahwa Pancasila tidak ada yang bertentangan dengan Islam. Konsep yang harus dimiliki oleh sebuah negara yakni terciptanya masyarakat egalitarian, yang para pemimpinya berorientasi kepada kesejahteraan rakyat dan senantiasa mengeliminasi, setidaknya-tidaknya meminimalisasi eksploitasi manusia-atas manusia lainya dalam segala bentuk dan manifestasi.

Dari beberapa pemaparan di atas, setidaknya tergambar secara substansi keberadaan Pancasila. Ada sebuah bentuk proses mempasilitasi keberadaan kelompok-kelompok yang berada di Indonesia dalam bingkai Pancasila, dengan selogan “Bhinneka Tunggal Ika”  meskipun berbeda-beda tetapi satu jua, ketika nilai-nilai keterbukaan tersebut dapat dijalankan sesuai dengan propoirsinya maka Pancasila masih relevan dan menjadi payung hukum bagi Indonesia.

Dalam konteks pembahasa mengenai HAM setidaknya Pancasila sebagai dasar dan payung hukum bagi negara yang berdaulat Indonesia, memiliki beberapa keterkaitan baik secara implisit maupun eksplisit, seperti ditegaskan oleh beberapa tokoh di atas bahwa Pancasila dengan nilai adi luhungnya menginginkan kemerdekaan manusia di atas segala-galanya dan berperikehidupan yang adil dan beradab.

Alinea pertama Pembukaan UUD 1945 sebagai aturan hukum menyebutkan bahwa adanya pengakuan freedom to be free dengan kata-kata, ”Bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan perikeadilan.[15] Lebih lanjut Yusril mengatakan bahwa pengakuan terhadap ”peri kemanusiaan” adalah intisari rumusan HAM. Karena, walaupaun terdapat bebagai definisi mengenai hal itu, pada umumnya orang bersepakat bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasariah yang dimiliki oleh setiap manusia, semata-mata karena ia adalah manusia. Pengakuan tehadap ”peri keadilan” adalah pengakuan terhadap norma dasar moral universal yang mendasari norma-norma lain, baik dalam bidang etika maupun hukum.[16]

Seperti dipaparkan oleh Yusril, Tata Hukum Indonesia dimulai dari Pancasila dan UUD 45 banyak memiliki kesesuaian dengan DUHAM, baik secara eksplisit maupun implisit. Secara umum, prinsip-prinsip pemerintahan yang ditegaskan oleh UUD 1945 ialah dianutnya ajaran kedaulatan rakyat, prinsip negara hukum (rechsstaat), prinsip pemerintahan demokratis yang berdasarkan permusyawaratan/perwakilan (democratic and refresentative govenment), dan prinsip pemerintahan yang bertanggung jawab (responsible government). diantara beberapa persamaan visi tersebut diantaranya adalah[17] :

UUD 1945

DUHAM

Bab IX Kekuasaan Kehakiman.

Pasal 24 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.

Pasal 25 menegaskan bahwa syaratuntuk menjadi dan untuk di berhentikan sebagai hakim juga harus ditetapkan oleh undang-undang.

Pasal 8 ”Setiap orang berhak atas pengadilan yangefektif oleh hakim-hakim nasional yang kuasa terhadap tindakan-tindakan hak-hak dasar, yang diberikan kepadana oleh undang-undang dasar negara atau undang-undang”

Pasal 10, ”Setiap orang berhak, dalam persamaan yang sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tidak memihak, dalam menetapkan hak-hak dan keajiban-kewajibandan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan terhadapnya”

Pasal 26 ayat 1 mengenai warga negara menetapkan bahawa yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang menjadi warga negara.

Pasal 15 ayat 1 ”Setiap orang berhak atas suatu kewarga nearaan.”

Pasal 27 ayat 1, memeberikan perlindungan kepada semua warga  negara bahwa semua mempunyai kedudukan yang sama didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu tanpa ada kecualinya.

Sesuai dengan Pasal 2, Pasal 6, pasal 7 dan pasal 27.

Pasal 6, ”Setiap orang berhak atas pengakun sebagai manusia pribadi terhadap undang-undang.”

Pasal 7, ”Sekalian orang adalah sama terhadap undang-undang dan berhak atas perlindungan hukum yang sama dengan tidak ada perbedaan. Stiap orang berhak atas perlindungan yang sama atas setiap perbedaan yang memeperkosa deklarasi ini dan terhadap segala hasutan yang ditujukan kepada perbuatan semacam itu.”

Paal 28 melindungi kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul, megeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan”dan sebagainya”. Perkataan ”dan sebagainya”

Pasal 19 ”Setiap orang berhak atas kebebasan memepunyai pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan caa apapun dan dengan tidak memandang batas-batas.”

Pasal 20 (1) Setiap orang memepunyai hak atas kebebasan berkumpul dan mengadakan rapat dengan tidak menapat gangguan; (2) Tidak seorang pun dapat dipaksa memasuki salah satu perkumpulan.

Pasal 29 ayat 1. Negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa. Ayat 2. Negara menjamin kebebasan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaanya itu.

Pasal 18 ” Setiap orang memepunyai hak atas kebebasan pikiran, hati nurani (conscience) dan agama, yang mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan, baik sendiri maupun dalam kelompok bersamadengan orang lain dan baik ditempat tersendirimaupun di tempat umum, untuk menyatakan agamadan kepercayaanya itu dalam pengajaran, tindakan (practice), peribadatan dan pelaksanaan (observance).”



            Terlepas dari draf mana yang paling dahulu keluar mengingat ada beberapa yang membincangkan mengani proses pengaruh, misalnya: DUHAM dideklarasikan tahun 1948 sedangkan UUD negara Indonesia di sahkan sebagai aturan resmi negara tahun 1945. Yang ingin ditekan kan dalam pembahasan di atas adalah bahwa Indonesia sebagai sebuah negara hukum ternyata sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.

            Namun terdapat beberapa kelemahan dalam beberapa aspek undang-undang terutama dalam beberapa pasal, yakni masih luasnya interpretasi sehingga kelompok minoritas terkebiri oleh aturan hukum tersebut.

         

Penutup

Manuisia diciptakan berbeda-beda yang kemudian menghasilkan berbangsa-bangsa dan hal tersebut memerlukan sebuah pormalisasi hukum yang mampu mengakomodir terlepas dari doktrin manusia mana yang paling baik dalam status sosial, ekonomi, politik dan budaya.

Setidaknya ada dua pandangan yang mampu untuk mengakomodir beberapa distingsi yang menganggap sebelah mata HAM. Pertama, problem penafsiran, perlu adanya upaya untuk merubah mainset manusia dalam memandang permasalahan HAM dengan lebih jernih dan menanggalkan (mengesampingkan) tradisi yang dipakai untuk menilainya. Setidaknya dalam tradisi Islam hal ini terdapat landasan hukumnya, setidaknya sebuah hadis tentang hikmah ”ambilah dalam masyarakat mengingat kebaikan yang ada dalam masyarakat adalah hikmah Islam yang tercecer.”

Kedua, harus menjadi sebuah pemahaman bersama bahwa kekerasan itu bertentangan dengan nurani dan melanggar Hak asasi manusia sebagai manusia bebas dan tidak terikat.

Ketiga, Setelah menyamakan atau disadarkan persepsinya maka mulai dengan mengajarkan kepada generasi muda agar hak asasi manusia dihormati dan dijunjung tinggi oleh setiap komunitas tanpa melihat latar belakang masing-masing baik dari ras, suku, bangsa dan agama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar